Part 3
TERAPI RADIASI (RADIOTHERAPY)
Tanggal 24 September aku menjalani pemeriksaan di RS Dharmais untuk mempersiapkan pengobatan kanker tahap 3 yaitu radioterapi.
Aku menjalani CR Plan Mamae, area disekitar bekas operasi diukur dan ditandai dengan spidol untuk menunjukkan bagian tubuh yang nantinya harus diradiasi.
Radiasi diperlukan untuk membunuh sisa-sisa akar kanker yang mungkin masih ada di sekitar jaringan yang sudah dioperasi.
Mulai hari itu, bagian yang digambar dengan spidol tidak boleh kena air, bahkan keringat yang menempel di bagian yang kena radiasi akan menyebabkan kulit menghitam atau gosong. Jadi untuk 1 bulan ke depan, aku hanya boleh mandi dari pinggang ke bawah saja, karena bagian dada tidak boleh kena air.
Aku harus menjalani 30 kali radiasi, satu kali sehari, setiap hari, 5 hari seminggu, selama 1 ½ bulan. Dan untuk menjalani terapi tersebut, aku harus membayar hampir 16 juta rupiah, di luar biaya lab dan konsultasi dokter sp.rad.
Tanggal 1 Oktober 2009, aku mulai menjalani terapi radiasi.
Buatku, terapi ini benar-benar menguras tenaga.
Sebenarnya terapi radiasi hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 10 menit. Tapi setiap pagi aku harus berangkat dari rumah di Bekasi jam setengah tujuh menuju RS Dharmais di Slipi untuk menunggu giliran radiasi mulai jam 8 pagi.
Biasanya banyak yang datang sebelum jam 8 pagi, karena mereka mengontrak rumah atau kost di sekitar RS Dharmais. Aku baru dapat giliran radiasi sekitar jam 10 atau ½ 11 siang, disinar sekitar 10 menit, lalu langsung pulang.
Tiba di rumah sudah lewat jam 1 siang, aku merasa exhausted, lelah luar biasa.
Begitu setiap hari selama 30 hari terus menerus.
Waktu menunggu giliran radiasi yang begitu lama (antara 2-3 jam) kuisi dengan bertukar pengalaman dengan pasien-pasien lain. Ada sesama pasien kanker payudara, ada pasien kanker rahim, kanker nasofaring, ada pasien yang metastasis ke tulang, paru, ada yang stadium 2,3 bahkan 4.
Subhanallah, melihat kondisi sesama pasien yang akan diradiasi, aku semakin bersyukur, ternyata kondisi penyakitku boleh dibilang tidak ada apa2nya dibandingkan pasien lain.
Semua maksudku SEMUA pasien mencapai stadium lanjut karena menunda-nunda operasi dan pengobatan secara konservatif medis (bedah-kemo-radiasi). Alasan mereka bermacam-macam, ada yang takut operasi, ada yang takut mati, ada yang ingin mencoba obat2an alternatif dulu, ada yang takut tidak punya biaya berobat … Masya Allah…. sedih sekali melihat keadaan mereka.
Desi, yang takut operasi, apa boleh buat… ternyata setelah menunda selama 4 bulan sejak dokter menyuruhnya operasi, kondisinya malah bertambah parah dan ia tetap harus dioperasi untuk membuang jaringan yang kena kanker, tidak ada jalan lain. Bedanya ? empat bulan lalu, dokter masih dapat mengusahakan hanya mengambil sebagian jaringan payudara yang kena kanker. Sekarang dengan sel kanker yang sudah meluas, seluruh payudaranya harus diangkat, dan hanya menyisakan kulit yang dijahit menutup tulang dadanya.
Ibu Tri, sudah mencoba semua pengobatan alternatif yang ada, kondisinya sudah sangat parah, tapi tetap tidak mau dioperasi, sampai akhirnya dia mendatangi seorang Haji di daerah Jawa Barat, disuruh sholat sunah 2 rokaat dan minum air putih saja. Tiba2 pulang dari situ ia minta suaminya mengantar ke rumah sakit. Belakangan ia baru tau ternyata pak Haji itu bicara ke suaminya bahwa kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk diobati secara alternatif, harus ditangani RS, oleh karena itu pak Haji tersebut hanya memberi sugesti bahwa ibu Tri harus ke RS lewat air putih yang diminumnya. Saat itu, kanker payudaranya telah menyebar ke tulang belakang. Saat saya bertemu ibu Tri hari itu, dia telah menjalani pengobatan di RS Dharmais selama 2 tahun terakhir. Kondisinya sudah jauh lebih baik, dulu datang harus ditandu, setahun harus duduk di atas kursi roda, sekarang sudah bisa jalan sendiri, tapi tetap harus memakai ransel besi untuk menopang tubuhnya, karena tulangnya sudah digerogoti kanker.
Ibu Erna, belum bisa dioperasi payudaranya karena masih ada luka terbuka. Saat itu dia masih menjalani radiasi dan kemoterapi untuk mengeringkan luka di dadanya dan melokalisir area kanker. Vonis dokter kanker payudara stadium 4 karena sudah menyebar ke paru-paru dan tulang. Beberapa bulan sebelum bertemu dengan saya, bu Erna sempat dirawat di RS di daerah Karawaci karena paru2nya berair dan terpaksa di sedot dengan selang untuk mengeluarkan cairan dalam paru2nya. Tapi saat itu dugaannya hanya paru2 basah, bukan kanker. Setelah dibawa ke RS Dharmais, baru ditemukan ternyata cairan dalam paru2 disebabkan oleh kanker yang menyebar dari kanker payudara !!!!
Ibu Emi, terkena kanker nasofaring, setiap kali datang dengan taxi, dia langsung tergolek di atas velbed di sudut ruang tunggu radiasi. Tidak ada suara atau kata2 yang bisa keluar dari mulutnya, kulit lehernya dari dagu sampai bahu hitam menggosong, sebagian terkelupas menampakkan kulit kemerahan yang pastinya sangat perih. Dia tidak bisa memasukkan makanan apa pun ke mulutnya, dia memegang segulung tissue untuk menyeka air liurnya dan sebentar-bentar meludah, ia tidak bisa menelan sama sekali. bahkan ia tidak bisa menelan air liurnya sendiri, karena terlalu sakit.
Melihat keadaan Ibu Emi, air mataku menetes…aku hanya bisa berdoa.Ya… Allah, ampunilah dosa2ku, janganlah engkau memberi aku cobaan yang aku tidak dapat menanggungnya…
Ada pasien yang begitu menderitanya, tapi tetap tenang dan sabar. Lain dengan Ibu Yati yang aku temukan duduk di pojokkan sambil sebentar-bentar menyeka air matanya. Saat aku tanyakan kenapa, ia menyatakan kerinduannya pada anaknya yang sudah lama tidak ia temui. Ketika aku tanya anaknya ada dimana, dia bilang anaknya sudah menikah, dan sekarang tinggal dengan suaminya, tidak serumah lagi dengan dia. Masya Allah… bagaimana aku bisa menghibur dan menenangkannya… menyadarkannya untuk menerima bahwa anaknya sudah bersuami dan pasti akan meninggalkan rumah. Aku hanya menepuk-nepuk pundaknya tanpa bisa berkata-kata…
Akhirnya kuberanikan bertanya, ”suami Ibu dimana?”
”sudah nikah lagi.” jawabnya pendek, sekarang tangisnya sudah terhenti.
”Sabar ya bu,” bujukku, ” memang tidak semua suami bisa menerima keadaan kita. Mungkin jodoh Ibu hanya sampai di sini, mudah2an Allah memberikan ganti yang lebih baik.” lanjutku.
”ah, ga papa, bu. Sekarang saya udah gak peduli lagi. Orang dia nikahnya udah setahun yang lalu, sebelum saya sakit kanker begini.”
Aku terhenyak…. jangan jangan ibu Yati kena kanker justru karena suaminya nikah lagi. Soalnya aku dengar salah satu pemicu kanker yang utama adalah stress, depresi dan ketidak stabilan emosi. Waduh… eh… subhanallah…
Rita, aku panggil saja dia begitu, kurasa umurnya lebih muda dari aku, terkena kanker serviks (leher rahim). Dia diradiasi di area vagina, jadi perih sekali kalau mau buang air kecil. Satu2nya larangan radiasi adalah tidak boleh kena air di sekitar area yang diradiasi, jadi dia harus menjaga tubuhnya mulai pinggang sampai paha atas agar selalu kering. Bagaimana caranya? Entahlah… aku tidak berani bertanya. Selama menunggu giliran radiasi pun ia lebih banyak berdiri. Kalaupun lelah, dia akan duduk pelan2 sambil mencari posisi yang tepat karena kalau tidak dia akan meringis-ringis kesakitan. Subhanallah.
Saat kulihat Ibu Farida, pertama datang dengan tempat tidur yang didorong dari ruang perawatannya. Untuk meletakkan ke meja radiasi, tubuhnya harus diangkat dengan tandu dari stainless yang di selipkan dari kanan kiri tubuhnya dengan hati2. setiap gerakan memindahkan yang salah membuat ibu Farida mengerang kesakitan. Aku mengobrol dengan suaminya, Ibu Farida menderita kanker payudara stadium 4, sudah metastase (menjalar) ke tulang di 6 titik satu di tulang bahu, 2 di tulang panggul, 2 di tulang paha, dan 1 di tulang kering. Dia harus menjalani 15 sampai 20 radiasi untuk setiap titiknya. Sehingga kalau sehari hanya bisa ditembak di 3 titik, maka ia memerlukan 60 hari untuk di radiasi. Subhanallah… bukan main beratnya….
Tapi alhamdulillah, kemajuannya sangat membahagiakan, Minggu pertama ibu Farida masih harus diangkat dari tempat tidurnya, minggu kedua dia datang didorong suaminya di atas kursi roda. Kepalanya masih terkulai lemah. Minggu ketiga, masih di kursi roda, tapi sudah bisa di ajak ngobrol… hari ke 25… di sudah berani mencoba turun dari kursi roda, naik ke meja radiasi, lalu kembali duduk di kursi roda. Hebat bu Farida !!!! Selama 25 hari itu suaminya setia menemani, bagainama dengan pekerjaannya? Ternyata suami bu Farida bekerja di Telkom Bekasi, dia mengambil cuti 40 hari kerja untuk menemani istrinya….
Tapi hari ke 26. 27, 28 aku tidak melihat bu Farida… padahal terapi radiasi tidak boleh terhenti barang sehari pun. Bila terpotong sampai 3 hari atau lebih, terapi tersebut harus diulang dari awal….
Ya, Allah… kemanakah bu Farida? Aku takut bertanya pada perawat atau operator mesin radiasi…aku takut jawabannya akan sama seperti yang aku tanyakan pada bu Mei Ling.
Ibu Mei Ling, kena kanker serviks, saat aku mulai radiasi, dia sudah menjalani radiasi yang ke 20 jadi kami hanya berjumpa selama 10 hari. Dia bercerita selama ia dirawat di kamarnya yang berisi 4 orang, 2 diantaranya berurutan menutup mata di ruangan yang ditempatinya karena sudah tidak tertolong lagi.
Selama 30 hari menjalani terapi radiasi, aku menjalin persahabatan dengan pasien kanker lain, saling memberi semangat, tukar pengalaman dan berbagi, kadang berbagi makanan, kue, bahkan ada teman pasien yang memberiku tasbih mutiara, oleh2 dari Ambon.
Efek radiasi bervariasi pada tiap pasien, untuk pasien kanker nasofaring, terapi radiasi sangat menyiksa karena bagian yang disinar adalah sekitar hidung, telinga dan tenggorokan. Wajah tidak boleh kena air, suara hilang, tidak bisa menelan, mual dan muntah terus.
Pada pasien kanker rahim dan kanker usus, selain radiasi luar seminggu 1x pasien harus diradiasi dalam, artinya alat radiasi dimasukkan ke dalam usus atau rahim, entah bagaimana,
Pada pasien kanker payudara, mungkin efek radiasi dirasakan paling ringan, karena hanya mengenai jaringan di luar tubuh, paling2 hanya rasa hangat, sedikit gatal dan kulit menghitam di area yang diradiasi.
13 November 2009, Di hari ke 30 terapi radiasiku, aku mampir ke toko kue membeli bika ambon medan ukuran besar untuk aku bagi2kan kepada semua pasien yang datang hari itu, dokter, perawat dan operator alat radiasi pun semua kebagian kue perpisahan dariku.
Selesai sudah pengobatan yang harus kujalani untuk mengatasi kanker payudara yang kuderita. Sekarang aku tinggal mematuhi jadwal kontrol tiap 3 bulan 1x untuk mammo, usg payudara, usg abdoment, thorax dan minum obat secara teratur. Saat ini aku menjalani terapi hormon dengan obat tamoxifen 20mg 1×1 hari selama 5 tahun.
Apabila dalam 5 tahun tidak terjadi relaps (kambuh) atau ditemukan sel kanker lagi. Maka dokter dapat menyatakan aku sembuh dari kanker. Dan dengan penuh syukur aku dapat mengucapkan,
I am a breast cancer survivor !!!!
No comments:
Post a Comment